Senin, 31 Oktober 2011

Analogi dalam Bahasa Indonesia Tidak Selalu Mutlak Sifatnya


Analogi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna membuat sesuatu yang baru berdasarkan contoh yang sudah ada. Analogi dalam bahasa artinya suatu bentukan bahasa yang menirukan contoh yang sudah ada. Gejala analogi memegang peranan penting dalam pengembangan dan pembinaan suatu bahasa terutama bahasa yang sedang tumbuh dan berkembang seperti bahasa Indonesia.

Di dalam bahasa Indonesia sudah lama dikenal bentuk: putra-putri, dewa-dewi. Fonem /a/ dan /i/ pada akhir kata memiliki fungsi membedakan jenis kelamin benda yang disebutkan. Berdasarkan bentukan yang telah ada maka munculah bentukan baru: saudara di samping saudari, mahasiswa-mahasiswi, pemuda-pemudi dsb..

Seperti diketahui banyak pemerhati bahasa, dalam bahasa Indonesia tidak mengenal alat (bentuk gramatika) untuk menyatakan/membedakan benda-benda jenis laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin dinyatakan dengan bantuan kata lain yakni kata laki-laki (pria) dan perempuan(wanita) di belakang kata yang dimaksud, misalnya: murid laki-laki, sauadara perempuan, kakak laki-laki, dsb. Untuk binatang atau tumbuhan digunakan kata jantan dan betina, misalnya: kuda jantan, sapi betina, bunga jantan, bunga betina, dsb..

Karena unsur a dan i bukanlah asli bahasa Indonesia, maka analogi dengan unsur itu haruslah dibatasi, sekadar yang memang perlu dan tentu saja kata bentukan yang baru jangan sampai bertabrakan arti dengan kata yang sudah ada. Misalnya di samping kata ‘raja’ tidak perlu dibentuk ‘raji’ sebab sudah ada kata lain yaitu ‘ratu’. Oleh karena itu analogi dalam bahasa indonesia tidak selalu mutlak sifatnya.

Dikutip dan di parafrasekan dari buku “Pelik-pelik Bahasa Indonsia” karangan J.S. Baduduasa, dalam bahasa Indonesia tidak mengenal alat (bentuk gramatika) untuk menyatakan/membedakan benda-benda jenis laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin dinyatakan dengan bantuan kata lain yakni kata laki-laki (pria) dan perempuan(wanita) di belakang kata yang dimaksud, misalnya: murid laki-laki, sauadara perempuan, kakak laki-laki, dsb. Untuk binatang atau tumbuhan digunakan kata jantan dan betina, misalnya: kuda jantan, sapi betina,bunga jantan, bunga betina, dsb..
Karena unsur a dan i bukanlah asli bahasa Indonesia, maka analogi dengan unsur itu haruslah dibatasi, sekadar yang memang perlu dan tentu saja kata bentukan yang baru jangan sampai bertabrakan arti dengan kata yang sudah ada. Misalnya di samping kata ‘raja’ tidak perlu dibentuk ‘raji’ sebab sudah ada kata lain yaitu ‘ratu’. Oleh karena itu analogi dalam bahasa indonesia tidak selalu mutlak sifatnya.

Dikutip dan di parafrasekan dari buku “Pelik-pelik Bahasa Indonsia” karangan J.S. Badudu

Waktu Dapatkah disingkat....?


“Untuk mempersingkat waktu, marilah kita lanjutkan pada acara keempat” 
            Sering kali kita dengarkan seorang  pembawa acara atau MC mengucapkan “untuk mempersingkat waktu, marilah kita lanjutkan pada acara keempat”.  Apabila dilihat sepintas maka makna ucapan tersebut terkesan ganjil, sebab secara kaidah penalaran ungkapan tersebut terasa aneh. Mengapa demikian?
            Kesalahan pada ungkapan, “untuk mempersingkat waktu, marilah kita lanjutkan pada acara keempat” adalah penggunaan kelompok kata mempersingkat waktu. Apakah betul waktu dapat dipersingkat? Waktu tidak dapat diringkas karena rentan waktu sehari semalam sudah pasti, yakni jumlahnya 24 jam; satu jam sama dengan 60 menit; satu menit sama dengan 60 detik.  Lalu bagaimana seharusnya?
            Sikap yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kalimat tersebut ialah dengan mengganti kelompok kata untuk mempersingkat waktu dengan mengefektifkan waktu. Sebagai ilustrasi, ada sebuah acara pertemuan semula direncanakan berlangsung dua jam. Namun, karena berhubung cuaca mendung pertanda akan hujan, acara-acara pertemuan pun dipercepat. Akibatnya, acara yang seharusnya berlangsung selama dua jam diefektifkan menjadi satu jam. Jadi, perbaikan kalimat menjadi “untuk mengefektifkan waktu, kita lanjutkan pada acara keempat.
            Demikanlah sebagian contoh dari sedikit analisis kesalahan berbahasa . Seharusnya kalimat yang diucapkan atau yang dituliskan haruslah kalimat yang benar dan logis/bernalar. Artinya, kalimat tersebut harus dilandasi suatu pemikiran yang jernih, harus ditunjang oleh bahan bukti atau data yang benar. Sebaliknya, jika kalimat yang diucapkan berawal dari pemikiran yang kusut atau alasan rancu, kalimat yang lahir adalah kalimat yang salah nalar; kalimat yang salah nalar adalah kalimat yang tidak logis.

Jika COPAS harap sertakan sumber.....

Pengaruh Struktur Bahasa Asing dalam Bahasa Indonesia

“Ketidaktepatan penggunaan di mana, yang mana, hal mana, di atas mana dari mana, dengan siapa, kepada siapa,  di dalam mana dalam Konteks Bahasa Indonesia

            Dewasa ini, banyak dijumpai penggunaan kata ganti penghubung (pronomn relativum) : di mana, yang mana, hal mana, di atas mana dari mana, dengan siapa, kepada siapa,  di dalam mana. Namun tanpa kita sadari ternyata penggunaan pilihan kata tersebut  tidak dibenarkan di dalam aturan bahasa Indonesia. Mengapa demikian?

            Sebetulnya kata ganti penghubung yang telah disebutkan di awal tadi bukanlah asli struktur bahasa Indonesia, namun merupakan struktur bahasa asing yakni bahasa Belanda. Penggunaan di mana, yang mana, hal mana, di atas mana dari mana, dengan siapa, kepada siapa,  di dalam mana merupakan pengaruh inferensi bahasa Belanda waar, welke, waarop, waarvan, met wie, aan wie. Inferansi yang dimaksud di sini ialah penerapan dua sistem secara serempak pada suatu sistem bahasa.
Untuk memperjelas pembahasan perhatikan contoh di bawah ini:

1.      Rumah di mana dia tinggal tidak jauh dari pusat kota.

2.      Daerah dari mana wortel  itu di datangkan terletak jauh di perkampungan.

Sekarang perhatikan apabila struktur kalimat di atas dikembalikan kepada kalimat menurut struktur bahasa Indonesia asli:

1.      Rumah tempat dia tinggal tidak  jauh dari pusat kota.

2.      Daerah yang menghasilkan wortel  itu terletak jauh di perkampungan.

            Berdasarkan contoh di atas tampak jelas kesalahan penggunaan kata ganti penghubung di mana, yang mana,  sebab kaidah yang dipakai tidak mengacu pada aturan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia namun lebih terpengaruh struktur bahasa asing. Penggunaan kontruksi kalimat seperti yang telah diutarakan tadi sebaiknya dihindari karena kontruksi tersebut tidak bersifat Indonesia. Akhirnya, melalui tulisan ini, penulis menghimbau agar pengguna    bahasa  Indonesia,  terutama      orang-orang   yang berpengaruh dalam masyarakat menjadi contoh dan teladan  dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. 

Jika ingin copas harap sertakan sumber.....