Sabtu, 28 Juni 2014

Para Fans Capres dan Calon Presidenku, Belajarlah dari Kisah Khalid bin Walid Radhiyallahu’anhu


Melihat fenomena anak bangsa yang hobi menghujat dan begitu membanggakan personal tertentu “selayak sesembahan” (di masa anget-anget menjelang Pilpres), maka cukup kita belajar kembali mengenai hakikat dari sebuah ketulusan dan keikhlasan melalui sebuah kisah Sang Pedang Allah, Khalid bin Walid Radhiyallahu’anhu yang Subhanallah sungguh fenomenal.

Salah satu kisah yang layak dijadikan ibrah atau pelajaran bagi siapa pun yang menginginan pemahaman arti sebuah keikhlasan.

Tersebut dalam sejarah masa generasi awal umat Islam, sebuah kisah tentang keteguhan seorang saifullah ‘si pedang Allah’, Khalid bin Walid.

Siapa yang tidak kenal dengan Khalid Bin Walid Radhiyallahu’anhu,  yang mendapat julukan dari Rasulullah, Khalid si  Pedang Allah yang terhunus. Duplikasi Umar Bin Khatab yang ke dua.

Keberaniannya membuat siapapun segan, baik teman ataupun lawan. Khalid Bin Walid Radhiyallahu’anhutelah terjun dalam puluhan peperangan. Para sejarawanpun mencatat, Khalid bin Walid tidak pernah kalah dalam perperangan apapun baik masa Jahiliyah maupun setelah masuk Islam.
Puncak kegemilangan Khalid bin Walid, terhenti pada era Umar bin Khattab Radhiyallahu’anhu. Ia diberhentikan sebagai pangliman perang.  Berita tersebut diperoleh Khalid  pada saat sedang memimpin perang. Umar bin Khattab melakukan hal itu agar Khalid tidak terlalu di jadikan sebab meraih kesuksesan oleh kaum Muslimin dengan kesuksesan-kesuksesan yang diperolehnya.
Pencopotan dirinya tanpa sebab dan kesalahan oleh Umar bin Khattab Radhiyallahu’anhu  tak membuat Khalid kecewa. Dengan jiwa kesatria, ia tak memandang peralihan tersebut sebagai penurunan kualitas semangat dakwahnya di Jalan Allah. Namun, Khalid memandang apapun posisi yang dia lakoni yang terpenting adalah memiliki manfaat untuk umat. Baik berada di garda terdepan ataupun dibelakang. Entah itu menjadi pemimpin ataupun prajurit.

Khalid tidak mempunyai obsesi dengan ketokohannya. Dia tidak menjadikan popularitas sebagai tujuan. Sebab itu dianggapnya prestasi yang diraihnya hanyalah sebagai sebuah perjuangan dan semata-mata mengharapkan ridha Subhanahu wa ta’ala. 

Sepotong kisah tentang salah satu panglima Islam terbesar yang layak di dijadikan panutan terutama bagi seseorang yang terlalu mengidolakan seorang tokoh pujaan, begitupula pelajaran bagi seorang calon pemimpin bangsa tentang arti sebuah keikhlasan. Arti sebuah perjuangan, arti sebuah ibadah maupun arti sebuah pengorbanan.

Tak elok rasanya Anda ataupun saya terlalu membanggakan diri seolah diri-diri kita merupakan bagian dari sebuah kesuksesan. Tak elok pula kita terlalu merendahkan orang lain karena nafsu fanatisme sempit semata. Toh apapun yang keluar dari hati yang dengki isinya pastilah kejelekan. Tak ada keadilan dalam menilai kebaikan hanya karena rasa dengki. Dengki adalah sebab Iblis yang dilaknat keluar dari surga (dengki pada nabiyullah Adam). Maka siapa yang lebih jelek dari pengikut Iblis?

Mengapa sekarang ini popularitas menjadi tolak ukur kebaikan? Toh nilai Anda  tidaklah dinilai dari siapa dan apa jabatan Anda sekarang. 

Bukankah besar atau kecil amal Anda bukanlah salah satu tolak ukur diterimanya amalan?

Bukankah tanpa keikhlasan, apapun yang Anda lakukan laksana debu yang tak bermanfaat di hadapan Allah?

Meskipun Anda dielukan dihadapan manusia, jikalau Anda rendah di sisi Allah bukankah semua itu tak ada gunanya?

Meskipun Anda di dukung mayoritas manusia namun ketika Anda mengkhianati janji Allah maka dukungan mayoritas itu hanya untuk melenakan dan menjauhkan dari sisi ketawadhu’an?

Ingatlah suara rakyat bukan suara Tuhan kawan, sebab Tuhan itu satu…bukan 250 juta…

Ingatlah kebenaran dan kebaikan bukanlah diuukur dari popularitas namun ia diukur dari ittiba (meniru akhlak Rasulullah) dan keikhlasan dalam jiwa. .

Ingatlah pula  tak ada seorang pemimpinpun kecuali ia akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah, Tuhan semesta Alam…so masihkah Anda berminat menjadi pemimpin…, think again ya kawan?
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (HR. Bukhari no. 7148)
Wallahu’alam



Tidak ada komentar: