Jumat, 12 Agustus 2011

Bulan Ramadhan-Lailatul Qodar-Zakat Fitrah-Hari Raya Idul Fitri

 
PERKARA-PERKARA YANG HARUS DIKETAHUI OLEH ORANG YANG BERSHAUM


       Sudah selayaknya bagi setiap orang yang bershaum mengetahui perbuatan apa saja yang dapat membatalkan shaumnya atau perbuatan apa saja yang dapat merusak nilai ibadah shaumnya, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah e kepada para sahabatnya. Sehingga tidak salah duga, perbuatan yang membatalkan atau merusak shaum diduga tidak membatalkan atau merusaknya, atau sebaliknya. Oleh karena itu Allah memuji keberadaan orang-orang berilmu, yang ibadah mereka dibangun diatas ilmu. Allah U berfirman (artinya):
“Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu dengan beberapa derajat”. (Al Mujadilah: 11)

Pembatal-Pembatal Shaum
           Pembaca yang mulia, berikut ini akan kami sebutkan perbuatan-perbuatan yang dapat membatalkan shaum;
1. Makan Dan Minum Dengan Sengaja.
2. Jima’ (Hubungan Suami Istri).
       Allah U berfirman (artinya):
Maka sekarang (setelah matahari terbenam), silahkan kalian mencampuri istri-istri kalian dan silahkan pula kalian makan dan minum sampai tampak jelas antara benang putih dengan benang hitam yaitu terbitnya fajar (shadiq’). (Al Baqarah: 187)
       Namun bila makan, minum, ataupun jima’ karena tidak sengaja, maka tidak membatalkan shaum. Rasulullah bersabda:
إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرَبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Bila seseorang lupa kemudian makan dan minum (dalam keadaan ia bershaum), maka hendaknya dia menyempurnakan shaumnya. Karena sesungguhnya Allah-lah yang telah memberinya  makan dan minum. (Muttafaqun ‘alaihi)
dalam riwayat lainnya:
مَنْ أَفْطَرَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضَاءَ عَلَيهِِ وَ لاَ كَفَّارَةَ
“Barangsiapa berbuka di siang hari bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada kewajiban qadha’ (mengganti di waktu yang lain) maupun kaffaarah (denda) atasnya”. (H.R. Al Hakim, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah, dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa’ 4/87)
       Pengertian berbuka dalam hadits di atas bersifat umum yaitu perkara yang dapat membatalkan shaum. Sehingga jima’ bila dilakukan karena lupa maka tidak membatalkan shaum.
3. Infus.
       Infus dapat membatalkan shaum karena ia berposisi sebagai pengganti makan atau minum.
       Adapun injeksi (suntik) tidak membatalkan shaum selama tidak berfungsi sebagai pengganti makanan atau minuman. (Lihat Fatawa fii Ahkamish Shiyam karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin hal. 204)
4. Merokok.
       Merokok selain merupakan perbutan yang dapat mengganggu kesehatan dan termasuk dalam pemborosan harta, ia juga termasuk dari pembatal shaum. Sebagaimana yang difatwakan oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin dan ulama lainnya. (Lihat Fatawa fii Ahkamish Shiyam hal. 150)
5. Muntah Dengan Sengaja.
       Al Imam Abu Dawud meriwayatkan hadits dari Abu Darda’ t, beliau berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَاءَ فَأَفْطَرَ
Sesungguhnya Rasulullah e pernah muntah (dengan sengaja) kemudian beliau berifthar (berbuka)”. (Lihat Al Irwa’ no.111, karya Asy Syaikh Al Albani)
       Dengan hadits diatas, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa memuntahkan diri dengan sengaja dapat membatalkan shaum jika keluar muntahannya, dan jika tidak keluar muntahannya maka tidak membatalkan shaum.
       Sedangkan muntah dengan tidak sengaja maka tidak membatalkan shaum. (Lihat Asy Syarhul Mumti’ 6/386, karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin)
6. Haidh Dan Nifas.
       Diantara pembatal shaum adalah datangnya haidh dan nifas yang dialami oleh kaum wanita. Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah e bersabda:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ ؟ قُلْنَا: بَلَى
…”Bukankah bila wanita mengalami haidh tidak shalat dan tidak shaum? Kami menjawab: “Benar”. (HR. Muslim no. 79)
       Hal-hal yang perlu diperhatikan bagi wanita yang haidh atau nifas:
1. Bila haidh/nifas datang di siang Ramadhan, maka batal shaumnya, walaupun datangnya menjelang beberapa saat sebelum matahari terbenam, dan wajib baginya mengqadha’ (mengganti puasanya di hari lain).
2. Bila wanita haidh/nifas telah suci menjelang beberapa saat sebelum terbit fajar shadiq, maka dia wajib bershaum walaupun mandinya setelah terbit fajar. Shaumnya sah dan tidak diwajibkan qadha’ baginya.
3. Bila wanita keguguran dan janin telah membentuk jasad bayi, maka darah yang keluar adalah darah nifas, sehingga ia tidak boleh shaum dan wajib mengqadha’. Namun bila janin belum membentuk jasad bayi, maka darah yang keluar bukan darah nifas. Sehingga ia wajib shalat dan shaum. Para ulama mengatakan bahwa umur minimal janin yang telah membentuk jasad bayi adalah 81 hari. (Lihat Fatawa fii Ahkamish Shiyam hal. 257)

Perkara-Perkara Yang Mubah (Diperbolehkan) Bagi Orang Yang Bershaum
       Pembaca yang mulia, berikut ini akan kami uraikan beberapa masalah penting tentang perkara-perkara yang mubah dilakukan bagi orang yang bershaum;
1. Bersiwak.
      Siwak adalah sebuah ranting atau batang kayu dari sebuah pohon khusus (arok) yang digunakan untuk menggosok gigi, sebagaimana yang ditauladankan oleh Rasulullah e dan para sahabatnya. Rasulullah e bersabda:
لَوْلاَ أنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ َلأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ ، وَفِي لَفْظِ مَالِكٍ : عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ
“Kalaulah sekiranya aku tidak khawatir akan memberatkan umatku niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak pada tiap hendak sholat”. (Muttafaqun ‘alaihi), dalam riwayat Al Imam Malik setiap kali wudhu’“. (Lihat Al Irwaa’ 1/108 – 101 hadits no. 70)
       Adapun menggosok gigi dengan odol (pasta gigi) diwaktu bershaum maka hukum asalnya boleh-boleh saja, aka tetapi harus lebih berhati-hati. Karena pasta gigi memilki daya serap yang kuat, terkadang tanpa terasa ia menyerap (masuk) ke dalam kerongkongan. Oleh karena itu Asy Syaikh Ibnu Utsaimin berpandangan lebih baik untuk tidak menggunakan pasta gigi disiang hari bagi orang yang bershaum, tentunya hal ini berbeda dengan menggunakan batang siwak. (Lihat Fatawa fii Ahkamish Shiyam hal. 254)
2. Merasakan Masakan.
      Diperbolehkan untuk merasakan masakan/makanan bagi ibu rumah tangga, pembeli atau semisalnya selama tidak masuk kedalam tenggorokan. Ibnu Abbas t berkata: “Tidak mengapa untuk merasakan cuka atau sesuatu (makanan) selama tidak masuk dalam tenggorokan”. Dalam riwayat lain: “… atau merasakan makanan yang ingin dibeli”. (Lihat Al Irwa’ 4/85)
3. At Tabarrud (membasahi anggota badan) Untuk Mengurangi Panas Atau Dahaga.
       Al Imam Abu Dawud no. 2365 dan Al Imam Ahmad no. 5/376 meriwayatkan bahwa Rasulullah e pernah membasahi rambut dalam keadaan shaum disebabkan dahaga dan panas.
       Demikian pula yang pernah dilakukan shahabat Ibnu Umar, suatu ketika beliau t membasahi bajunya kemudian ia memakainya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari dalam kitab Shahihnya.
4.  Injeksi (Suntik) Selama Bukan Berfungsi Sebagai Penambah Atau Pengganti Makanan.
5.    Mencium Dan Mencumbu Istri.
            Mencium istri disiang Ramadhan diperbolehkan. Tetapi harus selalu waspada jangan sampai menjerumuskan kedalam perbuatan haram yaitu jima’. Aisyah bintu Abi Bakr t berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ e يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَلَكِنَّهُ أَمْلَكَكمْ لِإِرْبِهِ
“Rasulullah dahulu pernah mencium dan mencumbu (istri) dalam keadaan beliau shaum, namun beliau adalah orang yang paling mampu mengekang syahwatnya”. (Muttafaqun ‘alaihi)
6. Ihtilam.
Ihtilam adalah keluarnya mani karena mimpi. Perkara ini tidak membatalkan shaum.
7. Keluarnya Mani Atau Madzi.
            Keluarnya mani atau madzi diluar kesengajaan maka ini tidak membatalkan shaum seperti ihtilam. Namun, bila keluarnya mani atau madzi disebabkan mencium atau mencumbu istri, sebagian ulama menyatakan dapat membatalkan shaum. Sebagian ulama lain tidak membatalkan shaum, karena tidak ada nash/dalil yang jelas dan tegas dalam masalah ini.
Asy Syaikh Muqbil menyatakan di dalam Ijabatus Sa’il  soal no. 100-101, bahwa bila mencium atau mencumbu istri berniat untuk mengeluarkan syahwatnya hingga keluar mani atau madzi, maka pelakunya berdosa (dapat merusak nilai ibadah shaum), walaupun shaumnya tidak batal.
8. Memasuki Fajar Shubuh Dalam Keadaan Junub.
            Ummu Salamah t berkata:
كَان َرَسُولُ اللهِ   rيُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ لاَ مِنْ حُلُمٍ ثـُمَّ لاَ يُفْطِرُ وَلاَ يَقْضِي
“Bahwasanya Rasulullah r pernah memasuki waktu subuh dalam keadaan junub dikarenakan jima’ bukan karena mimpi basah, lalu beliau bershaum pada hari tersebut dan tidak mengqadha’nya.” (HR. Muslim no.1109)
9. Darah Yang Keluar Dari Anggota Badan.
            Darah yang keluar dari hidung (seperti mimisan), gigi karena dicabut, telinga, atau luka dari anggota tubuh lain, tidaklah membatalkan shaum.
Sedangkan donor darah dan berbekam, sebaiknya tidak dilakukan di siang Ramadhan karena ada sebagian para ulama’ yang menyatakan dapat membatalkan shaum. Wallahu a’lam.

Menjauhi Hal-Hal Yang Dapat Merusak Nilai Ibadah Shaum
Ketahuilah wahai para pembaca yang mulia, sesungguhnya shaum itu  bukanlah hanya sekedar meninggalkan makan, minum dan jima’, bahkan shaum merupakan  wasilah untuk menuju insan yang bertaqwa. Allah Y berfirman (artinya): “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian shaum Ramadhan sebagaimana yang telah diwajibkan kepada umat sebelum kalian supaya kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa”. (Al Baqarah: 183)
Selayaknya bagi orang yang bershaum untuk menahan dan menjauhkan diri dari perbuatan yang  dapat merusak nilai ibadah shaumnya (walaupun tidak membatalkan shaumnya). Seperti ghibah (menyebarkan aib saudaranya), namimah (adu domba), berdusta, berbicara kotor/kasar, berbuat zhalim/aniaya kepada saudaranya, atau berbuat/berbicara yang tidak ada manfaatnya. Kalau perkara-perkara ini dilanggar maka dapat mengurangi nilai ibadah shaumnya. Rasulullah I bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَ الْعَمَلَ بِهِ وَ الْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلّهِ Uحَاجَّةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan berbuat dengan kedustaan tersebut serta berbuat jahil maka tidaklah Allah butuh terhadap apa yang ia tinggalkan dari makan dan minum.” (HR. Al Bukhari no. 1903)
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوعُ وَالعَطشُ
Bisa jadi bagian yang didapatkan oleh orang yang bershaum hanyalah lapar dan dahaga. (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Bila ia justru terbiasa dengan perkara-perkara yang dilarang dalam agama maka dikhawatirkan ibadah shaum itu akan menjadi bumerang baginya. Rasulullah e bersabda: “Sesungguhnya Jibril u datang kepadaku, lalu dia berkata: “Barangsiapa yang menjumpai Ramadhan namun dia tidak diampuni dosanya, maka dia kelak masuk dalam an naar dan Allah akan menjauhkan dia. Jibril berkata: “Katakan “amien”, aku pun mengucapkan “amien”. (HR. Ahmad 2/246 atau 254)
Seharusnya justru ibadah shaum tersebut menjadi motivator (pendorong) untuk beramal shalih sebanyak-banyaknya dan meninggalkan perkara-perkara yang dapat membatalkan ataupun merusak shaumnya. Itulah hakekat shaum yang diperintahkan oleh Allah Y dan Rasul-Nya.



Shaum Ramadhan Bersama Pemerintah "Syiar Kebersamaan Umat Islam"

Buletin Islam AL ILMU Edisi 61 / I / III / 1425

Bulan suci Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Hari-harinya diliputi suasana ibadah; shaum, shalat tarawih, bacaan Al-Quran dan lain sebagainya. Sebuah fenomena yang tak didapati di bulan-bulan selainnya. Tak ayal, bila kedatangannya menjadi dambaan dan kepergiannya meninggalkan kesan yang mendalam. Tak kalah istimewanya, ternyata bulan suci Ramadhan juga sebagai salah satu syi’ar kebersamaan umat Islam. Secara bersama-sama mereka melakukan shaum Ramadhan; dengan menahan diri dari rasa lapar, dahaga dan dorongan hawa nafsu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, serta mengisi malam-malamnya dengan shalat tarawih dan berbagai macam ibadah lainnya. Tak hanya kita umat Islam di Indonesia yang merasakannya, bahkan seluruh umat Islam di penjuru dunia pun turut merasakan dan memilikinya.
Namun syi’ar kebersamaan itu kian hari semakin pudar, manakala elemen-elemen umat Islam di banyak negeri saling berlomba mempublikasikan keputusan yang berbeda-beda dalam menentukan awal masuknya bulan Ramadhan dan keluarnya. Keputusan itu terkadang atas nama organisasi massa (ormas), terkadang atas nama partai politik (parpol) dan terkadang pula atas nama pribadi. Masing-masing kelompok mengklaim bahwa keputusannya yang paling benar. Tak pelak, shaum Ramadhan yang merupakan syi’ar kebersamaan itu (sering kali) diawali dan diakhiri dengan fenomena perpecahan di tubuh umat Islam sendiri. Tentunya, ini merupakan fenomena menyedihkan bagi siapa saja yang mengidamkan persatuan umat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin anda akan berkata: “Itu karena adanya perbedaan pendapat diantara elemen umat Islam, apakah awal masuk dan keluarnya bulan Ramadhan itu ditentukan oleh ru’yatul hilal ataukah dengan ilmu hisab?”. Bisa juga anda mengatakan: “Karena adanya perbedaan pendapat, apakah di dunia ini hanya berlaku satu mathla’ ataukah masing-masing negeri mempunyai mathla’ sendiri-sendiri?”.
Para pembaca yang mulia, bila kita mau jujur tentang sebab pudarnya syi’ar kebersamaan itu (terlepas adanya realita perbedaan pendapat diatas), maka sesungguhnya penyebab utamanya adalah semakin pudarnya salah satu prinsip penting agama Islam dari hati sanubari umat Islam. Prinsip itu adalah memuliakan dan menaati pemerintah umat Islam dalam hal yang ma’ruf (kebaikan). Mungkin para pembaca bertanya-tanya, “Apa hubungannya antara ketaatan terhadap pemerintah dengan pelaksanaan shaum Ramadhan?”
Ketahuilah, bahwa hubungan antara keduanya sangat erat. Hal itu dikarenakan:
1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam, dan suatu kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap pemerintah.
2. Penentuan pelaksanaan shaum Ramadhan merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan bukan kemaksiatan. Oleh karenanya, menaati pemerintah dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam. Terlebih ketika menentukannya melalui sekian proses, mulai pengerahan tim ru’yatul hilal di sejumlah titik negerinya hingga digelarnya sidang-sidang istimewa.
3. Realita membuktikan, bahwa dengan menaati keputusan pemerintah dalam hal pelaksanaan shaum Ramadhan dan penentuan hari raya ‘Idul Fithri, benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya ketika umat Islam berseberangan dengan pemerintahnya, perpecahan di tubuh mereka pun sangat mencolok. Maka dari itu, menaati pemerintah dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam.
Rasulullah e bersabda :
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَىاللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي
“Barang siapa menaatiku berarti telah menaati Allah, barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah, barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barang siapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para pemerintah dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, 13/120).

Fatwa Para Ulama Seputar Shaum Ramadhan Bersama Pemerintah
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama pemerintah dan jama’ah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah I bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa 25/117)
Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits Abu Hurairah:
اَلصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّون
“Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.”
dengan perkataan (mereka), ‘sesungguhnya shaum dan berbukanya itu (dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi 2/37)
Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, berbuka puasa/Iedul Fithri dan Iedul Adha –pen) keputusannya bukanlah di tangan individu, dan tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada pemerintah dan mayoritas umat Islam, dan dalam hal ini setiap individu pun wajib untuk mengikuti pemerintah dan mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun pemerintah menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Ash-Shahihah 2/443)
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata: “Dan selama belum (terwujud) bersatunya negeri-negeri Islam di atas satu mathla’ (dalam menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan –pen), maka aku berpendapat bahwa setiap warga negara hendaknya melaksanakan shaum Ramadhan bersama negaranya (pemerintahnya) masing-masing dan tidak bercerai-berai dalam perkara ini, yakni shaum bersama pemerintah dan sebagian lainnya shaum bersama negara lain, baik mendahului pemerintahnya atau pun membelakanginya. Karena yang demikian itu dapat mempertajam perselisihan di tengah masyarakat muslim sendiri. Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu, Wallahul Musta’an.” (Tamamul Minnah hal. 398)
Beliau juga berkata: “Inilah yang sesuai dengan syari’at (Islam) yang toleran, yang diantara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu kepada perpecahan. Syariat ini tidak memperhitungkan pendapat pribadi -walaupun menurut pemiliknya benar- dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Ied, dan shalat berjama’ah. Tidakkah engkau melihat bahwa para shahabat y sebagian mereka shalat di belakang yang lainnya (berma’mum) padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu’, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?!. Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna (4 raka’at) dalam safar dan diantara mereka pula ada yang mengqasharnya (2 raka’at)?!. Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam (walaupun berbeda pendapat dengannya –pen) dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah. Hal itu dikarenakan keilmuan mereka bahwasanya bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk dari sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat pemerintah dari pada pendapat pribadinya di momen berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya khalifah Utsman bin Affan t shalat di Mina 4 raka’at (zhuhur, ‘ashar, dan isya’ –pen), maka shahabat Abdullah bin Mas’ud t mengingkarinya seraya berkata: “Aku telah shalat (di Mina/hari-hari haji –pen) bersama Nabi e, Abu Bakr, ‘Umar dan diawal pemerintahan dengan Utsman 2 raka’at, dan berikutnya Utsman shalat 4 raka’at. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian (sebagian shalat 4 raka’at dan sebagian lagi 2 raka’at –pen), dan harapanku dari 4 raka’at shalat itu yang diterima adalah yang 2 raka’at darinya.” Namun ketika di Mina shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat tersebut dengan 4 raka’at, maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari Utsman atas shalatnya yang 4 raka’at, (mengapa) kemudian engkau shalat 4 raka’at pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar y.
Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang (hobi –pen) berpecah-belah dalam urusan shalat mereka dan tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid, terkhusus shalat witir di bulan Ramadhan yang alasannya karena beda madzhab! Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun membelakanginya dengan dalih mengerti ilmu falaq, tanpa mau peduli manakala harus berseberangan dengan mayoritas kaum muslimin. Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini, dan semoga bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Harapannya agar mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah bersama Al-Jama’ah.” (Ash-Shahihah 2/444-445)
Padahal beliau di antara para ulama’ yang berpendapat bahwasanya pelaksanaan shaum Ramadhan dan Idul Fithri di dunia ini hanya dengan satu mathla’ saja sebagaimana yang beliau rinci dalam kitab Tamamul Minnah hal. 398. Walaupun demikian beliau sangat getol mengajak umat Islam (saat ini) untuk melakukan shaum Ramadhan dan Iedul Fithri bersama pemerintahnya, sebagaimana perkataan beliau di atas.
 Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya: “Jika awal masuknya bulan Ramadhan telah diumumkan di salah satu negeri Islam semisal kerajaan Saudi Arabia, namun di negeri kami belum diumumkan, bagaimanakah hukumnya? Apakah kami bershaum bersama kerajaan Saudi Arabia ataukah bershaum dan berbuka bersama penduduk negeri kami, manakala ada pengumuman? Demikian pula halnya dengan masuknya Iedul Fithri, apa yang harus kami lakukan bila terjadi perbedaan antara negeri kami dengan negeri yang lainnya? Semoga Allah I membalas engkau dengan kebaikan.”
Maka beliau menjawab: “Bagi setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu berdasarkan sabda Nabi e:
“Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.” Wabillahit taufiq (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin -rahimahullah- ditanya: “Umat Islam di luar dunia Islam sering berselisih dalam menyikapi berbagai-macam permasalahan seperti (penentuan ) masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, serta saling berebut jabatan di bidang dakwah. Fenomena ini terjadi setiap tahun, hanya saja tingkat ketajamannya berbeda-beda pada tiap tahunnya. Penyebab utamanya adalah minimnya ilmu agama, mengikuti hawa nafsu dan terkadang fanatisme madzhab atau partai, tanpa mempedulikan rambu-rambu syari’at Islam dan bimbingan para ulama’ yang kesohor akan ilmu dan wara’nya. Maka, adakah sebuah nasehat yang kiranya bermanfaat dan dapat mencegah (terjadinya) sekian kejelekan? Semoga Allah I memberikan taufiq dan penjagaan-Nya kepada engkau.”
Maka beliau berkata: “Umat Islam wajib bersatu dan tidak boleh berpecah-belah dalam beragama. Sebagaimana firman Allah I (artinya): “Dia telah mensyari’atkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepadamu, Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya.” (Asy-Syuura: 13)
“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali Imran: 103)
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan, dan bagi mereka adzab yang pedih.” (Ali Imran: 105)
            Maka wajib bagi umat Islam untuk menjadi umat yang satu dan tidak berpecah-belah dalam beragama. Hendaknya waktu shaum dan berbuka mereka satu, dengan mengikuti keputusan badan/departemen yang menangani urusan umat Islam dan tidak bercerai-berai (dalam masalah ini), walaupun harus membelakangi shaum kerajaan Saudi Arabia atau negeri Islam lainnya.” (Fatawa Fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52)
Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal-Iftaa’: “…Dan tidak mengapa bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal (bulan tsabit) di tempat tinggalnya pada malam ke-30 untuk mengambil hasil ru’yatul hilal dari tempat lain di negerinya. Jika umat Islam di negeri tersebut berbeda pendapat dalam hal penentuannya, maka yang harus diikuti adalah keputusan pemerintah di negeri tersebut bila ia seorang muslim, karena (dengan mengikuti) keputusannya akan sirnalah perbedaan pendapat itu. Dan jika si pemerintah bukan seorang muslim, maka hendaknya mengikuti keputusan majlis/departemen pusat yang membidangi urusan umat Islam di negeri tersebut. Hal ini semata-mata untuk menjaga kebersamaan umat Islam dalam menjalankan shaum Ramadhan dan shalat Ied di negeri mereka. Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.(Pemberi fatwa: Asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 117)
Demikianlah beberapa fatwa para ulama terdahulu dan masa kini seputar kewajiban bershaum bersama pemerintah dan mayoritas umat Islam di negerinya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan ibrah bagi orang-orang yang mendambakan persatuan umat Islam. Wallahu a’lam.


MERAIH LAILATUL QADAR



            Meraih laitul qadar merupakan dambaan setiap insan muslim. Mengapa demikian? Ya, memang begitu seharusnya seorang muslim, selalu mengharap hidayah, maghfirah serta rahmat Allah U.
Bukankah pada malam tersebut terdapat keutamaan-keutamaan yang luar biasa sebagaimana yang Allah jelaskan di dalam Al Qur’an maupun Rasul-Nya terangkan di dalam As Sunnah? Diantara keutamaan-kutamaannya adalah :
1.             Pada malam itu Al Quran dan Malaikat diturunkan serta ibadah di malam itu lebih baik daripada ibadah seribu bulan. (Al Qadr: 1-5)
2.             Akan diampuni dosa-dosa bagi siapa saja yang shalat pada malam itu. Rasulullah r bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غُفِرَ له مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan shalat pada malam lailatul qadar dalam keadaan iman dan dengan penuh harapan (balasan dari Allah) niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (Muttafaqun ‘Alaihi)

Kapan Munculnya Lailatul Qadar?
            Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama’ bahwa munculnya lailatul qadar pada salah satu malam diantara malam-malam ganjil di sepertiga akhir (10 terakhir) Ramadhan. Berdasarkan hadits ‘Aisyah, beliau berkata:
Dahulu Rasulullah r selalu menantinya pada malam-malam akhir di bulan Ramadhan kemudian beliau berkata: “Raihlah lailatul qadar pada malam-malam ganjil di akhir bulan”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
            Bila seseorang tidak memungkinkan untuk menghidupkan di malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir  karena sakit atau yang lainnya, maka jangan sampai luput baginya pada malam-malam ganjil dari tujuh malam yang tersisa/terakhir, yaitu pada malam keduapuluh lima, keduapuluh tujuh dan keduapuluh sembilan Ramadhan. Sebagaimana hadits Ibnu Umar bahwa Rasulullah r bersabda :
اِلْتَمِسُوْهَا فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَوْ عَجِزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ علَىَ السَّبْعِ الْبَوَاقِى
Carilah lailatul qadar pada malam sepuluh hari terakhir, jika salah seorang diantara kalian dalam keadaan lemah (tidak mampu) maka jangan sampai luput baginya malam-malam (ganjil) dari  tujuh yang tersisa (terakhir)”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
dalam riwayat Al Imam Al Bukhari 4/232, Rasulullah r bersabda: “Carilah pada malam keduapuluh lima, keduapuluh tujuh dan keduapuluh sembilan”.

Kesungguhan Menghidupkan Lailatul Qadar
            Barangsiapa yang terhalangi untuk mendapatkan  lailatul qadar yang penuh barokah ini maka dia telah terhalangi pula dari seluruh kebaikan-kebaikan tesebut. Sehingga sudah seharusnya bagi setiap muslim untuk bersemangat mencari keutamaan malam tersebut. Sebagaimana hadits Aisyah, beliau berkata: ”Dahulu  Rasulullah r jika memasuki sepuluh terakhir mulai menjauhi istrinya, menghidupkan malamnya,  serta mambangunkan keluarganya pada malam tersebut”. (Muttafaqun ‘Alaihi) dalam riwayat Muslim: ”Dahulu Rasulullah r bersungguh-sungguh (dalam beribadah) pada sepertiga akhir bulan, yang tidak sama kesungguhannya diselain malam-malam tersebut”.

Tanda Munculnya Lailatul Qadar
            Telah diriwayatkan dari Ubay Bin Ka’ab, Rasulullah r bersabda:
“Pagi harinya matahari terbit dalam keadaan tidak menyilaukan, seperti halnya bejana yang dari kuningan”. (H.R Muslim)
Dalam riwayat yang lainnya dari jalan Ibnu Abbas bahwa Rasulullah r bersabda:
”Lailatul qadar adalah malam yang tenang dan sejuk yang tidak panas maupun dingin serta sinar matahari di pagi harinya tidak menyilaukan”. (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al Bazzar)
           
Doa Yang Disunnahkan Pada Malam Tersebut
            Aisyah bertanya kepada Rasulullah r: ”Wahai Rasulullah jika aku mendapati lailatul qadar, do’a apa yang kuucapkan pada malam tersebut?”, Rasulullah r berkata :
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang suka memaafkan, maka maafkanlah aku”. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)



* * *
ZAKAT FITRAH



Istilah ”zakat fitrah“ tidak asing lagi bagi telinga kita, karena pada setiap tahunnya kita tak pernah absen untuk menunaikannya.

Apa Hukumnya dan Kepada Siapa Diwajibkan ?
Zakat fitrah merupakan kewajiban bagi seluruh kaum muslimin. Shahabat Abdullah bin Umar y berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّه  r  زَكاةَ الفِطْرِِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَو صَاعًا مِْن شَعِيْرٍ  عَلَى اْلعَبْدِ وَ الحُرِّ والذّكَرِ والأُنْثَى والصَّغيرِ والكَبيرِ مِنَ المُسْلِمين
Rasulullah r telah mewajibkan  zakat fitrah berupa satu shaa’ kurma atau gandum bagi budak, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari kaum muslimin. (H.R. Al Bukhori no. 1503)

Dengan Apa Seseorang Berzakat dan Berapa Ukurannya ?
Yang dikeluarkan sebagai zakat fitrah adalah bahan makanan pokok suatu daerah. Ukurannya 1 shaa’, sebagaimana. hadits Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata: “Kami di jaman Nabi r biasa mengeluarkan zakat fitrah berupa 1 shaa’ makanan, 1 shaa’ kurma, 1 shaa’ gandum, 1 shaa’ kismis“ (Muttafaqun alaihi), dalam riwayat yang lain: “atau 1 shaa’ keju”.
            Al Imam Ibnul Qoyyim ketika menyebutkan lima jenis bahan makanan di atas berkata: ”Ini semua merupakan mayoritas makanan pokok penduduk Madinah, adapun jika penduduk suatu negeri atau tempat makanan pokoknya selain itu (yang telah disebutkan) maka yang dikeluarkan adalah 1 shaa’ dari makanan pokok mereka itu.
(Taudhihul Ahkam juz 3, hal. 78)
1 shaa’ senilai dengan 4 mud. 1 mud sama dengan 1 cakupan dari dua telapak tangan yang berukuran sedang. Atas dasar ini ada perbedaan pendapat diantara ulama’ dalam kepastian ukurannya. Ada yang menyatakan 1 sha’ senilai ± 2 kilo, 40 gram atau 2,04 kg sebagaimana fatwa Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, ada yang menyatakan 3 kg sebagaimana fatwa Asy Syaikh Bin Baz. Adapun di negara kita pada umumnya senilai 2,5 kg.

Bolehkah Dengan Uang ?       
Pemdapat jumhur ulama, diantaranya Al Imam Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad berpandangan tidak boleh mengeluarkan zakat dengan bentuk uang.
Al Imam An Nawawi berkata: “Pernyataan-pernyataan Asy Syafi’I sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilai (mata uang). (Al Majmu’ 5/401)
Abu Dawud mengatakan: “Aku mendengar Al Imam Ahmad ditanya, bolehkah saya memberi uang dirham yakni dalam zakat fitrah? Beliau menjawab: “Saya khawatir tidak sah, karena menyelisihi sunnah Rasulullah r.
 Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz berkata: “Membayar zakat fitrah  dengan uang tidak diperbolehkan menurut jumhur ulama’, dan wajib ditunaikan dengan makanan pokok sebagaimana yang telah ditunaikan oleh Nabi  r dan para shahabatnya”. (Fataawa Ramadhan, hal. 924). Demikian pula yang difatwakan oleh Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin  dan Asy Syaikh  Sholih Al Fauzan. (Fataawa Ramadhan, hal. 918, 920).
Yang demikan ini semata-mata mengikuti sunnah Rasulullah r, karena telah ada di jaman Rasulullah r mata uang seperti dinar dan dirham, akan tetapi beliau r dan para sahabatnya tidak pernah mengeluarkan zakat fitrah dengan mata uang tertentu. Dan merupakan keyakinan kaum muslimin  bahwa syari’at ini merupakan hak mutlak dari Allah dan Rasul-Nya, maka Allah-lah yang maha mengetahui hikmah dari syariat-Nya.

Kepada Siapa Disalurkan ?
            Zakat fitrah ini disalurkan secara khusus untuk orang-orang fakir miskin. Asy Syaikh Al Albani berkata: ”Belum ada dalam sunnah ‘amaliyyah (amalan nabi) yang menunjukkan tentang pembagian zakat fitrah seperti ini (untuk delapan golangan –red) bahkan sabda beliau r dalam hadits Ibnu Abbas:
“ ... وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكين “
”…dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin“.
menunjukkan pengkhususannya untuk orang-orang miskin. Adapun ayat (At Taubah: 60) berlaku untuk zakat maal (harta) bukan zakat fitrah dengan dasar apa yang terdapat dalam ayat sebelumnya …, pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan beliau mempunyai fatwa yang sangat bermanfaat dalam hal ini, sebagaimana yang terdapat dalam Majmu’ Fataawa (juz 25, hal. 71-78, red). Pendapat ini pula yang dipegang oleh Asy Syaukani dalam As Sailul Jarror (juz 2, hal. 86-87). Oleh karena itu Ibnul Qoyyim berkata dalam Zaadul Ma’ad (juz 2 hal. 21): ”Merupakan tuntunannya r, pengkhususan   zakat fitrah untuk orang-orang miskin …“. (Tamamul Minnah hal. 387-388). Demikian pula yang difatwakan oleh Asy Syaikh Sholih Al Fauzan, Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, dan Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (Fataawa Ramadhan hal. 920 , 924 ,936). 

Kapan Waktu Penunaiannya ?
                        Waktu penunaiannya adalah sebelum sholat Iedul Fitri, yaitu: sebelum orang-orang berangkat menuju sholat atau sehari dua hari sebelumnya. Dan tidak boleh ditunaikan sesudah sholat Ied. Hal ini berdasarkan beberapa riwayat:
1.     Dari Shahabat Abdullah bin Umar Ia berkata:
 ... وَ أَمَرَ بها أن تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ  إِلى الصَّلاَةِ .
”… Dan beliau r memerintahkan agar zakat fitrah itu ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju sholat Ied. (H.R. Al Bukhori no. 1503)
2.     Dari Naafi’ Ia berkata: ”…Dahulu para shahabat Rasulullah r menunaikannya sehari atau dua hari sebelum Iedul Fitri“. (H.R. Al Bukhori no. 1511)
3.     Dari shahabat Abdullah bin Abbas, Rasulullah r bersabda:
... وَ من أَدَّاها بعد الصَّلاةِ فَهِي صَدَقَةٌ مِن الصَّدَقَاتِ
Barangsiapa menunaikannya sesudah sholat Ied, maka ia sebagai shadaqoh dari shadaqoh-shadaqoh yang biasa (tidak terhitung sebagai zakat fitrah -red). (HR. Abu Dawud)
Adapun bacaan khusus ketika menunaikannya, maka belum pernah ada keterangannya dari Nabi r, baik untuk pemberi ataupun penerima. Namun dianjurkan bagi si penerima untuk mendoakan kebaikan bagi si pemberi, berdasarkan QS At Taubah: 103.

Bagaimana Bila Ditunaikan Di Awal Ramadhan     
                        Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata: ”Ulama’ berbeda pandapat tentang zakat fitrah yang ditunaikan di awal Ramadhan. Dan pendapat yang rojih  (kuat) adalah tidak boleh, karena tidaklah diberi nama dengan zakat fithr kecuali karena terjadi di akhir bulan (menjelang Iedul Fithri). Rasulullah memerintahkan agar ia ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju sholat Ied dan para shahabat pun menunaikannya sehari atau dua hari sebelum Ied.” (Fataawa Ramadhan, hal.935)
 
Iedul Fitri Bersama Pemerintah
Syiar Kebersamaan Umat Islam


Kaum muslimin -semoga Allah I mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua-, ketahuilah! Bahwa bulan suci Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Secara bersama-sama mereka melakukan shaum Ramadhan; dengan menahan diri dari rasa lapar, dahaga dan dorongan hawa nafsu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, serta mengisi malam-malamnya dengan shalat tarawih dan berbagai macam ibadah lainnya. Hal ini menggambarkan bulan suci Ramadhan merupakan momen mewujudkan syi’ar kebersamaan umat Islam. Tak ayal, bila kedatangannya menjadi dambaan dan kepergiannya meninggalkan kesan yang mendalam. Sehingga ibadah yang agung ini pun ditutup dengan Iedul Fitri yang dijadikan oleh Allah I sebagai hari raya bagi umat Islam. Sebagaimana ibadah haji juga ditutup dengan Iedul Adha yang dijadikan pula sebagai hari raya bagi umat Islam.
Namun syi’ar kebersamaan itu kian hari semakin pudar, manakala elemen-elemen umat Islam di banyak negeri saling berlomba mempublikasikan keputusan yang berbeda-beda dalam menentukan awal masuknya bulan Ramadhan dan 1 (satu) Syawal. Keputusan itu terkadang atas nama organisasi massa (ormas), terkadang atas nama partai politik (parpol) dan terkadang pula atas nama pribadi. Masing-masing kelompok mengklaim bahwa keputusannya yang paling benar. Tentunya, ini merupakan fenomena menyedihkan bagi siapa saja yang mengidamkan persatuan umat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin anda akan berkata: “Itu karena adanya perbedaan pendapat diantara elemen umat Islam, apakah awal masuk dan keluarnya bulan Ramadhan itu ditentukan oleh ru’yatul hilal ataukah dengan ilmu hisab?”. Bisa juga anda mengatakan: “Karena adanya perbedaan pendapat, apakah di dunia ini hanya berlaku satu mathla’ ataukah masing-masing negeri mempunyai mathla’ sendiri-sendiri?”.
Para pembaca -semoga Allah I memberikan hidayah kepada kita semua-, bila kita mau jujur tentang sebab pudarnya syi’ar kebersamaan itu (terlepas adanya realita perbedaan pendapat diatas), maka sesungguhnya penyebab utamanya adalah semakin pudarnya salah satu prinsip penting agama Islam dari hati sanubari umat Islam. Prinsip itu adalah memuliakan dan menaati pemerintah umat Islam dalam hal yang ma’ruf (kebaikan). Mungkin para pembaca bertanya-tanya, “Apa hubungannya antara ketaatan terhadap pemerintah dengan pelaksanaan shaum Ramadhan?”
Ketahuilah, bahwa hubungan antara keduanya sangat erat. Hal itu dikarenakan:
1. Iedul Fitri merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam, dan suatu kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap pemerintah.
2. Penentuan pelaksanaan Iedul Fitri merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan bukan kemaksiatan. Oleh karenanya, menaati pemerintah dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam. Terlebih ketika menentukannya melalui sekian proses, mulai pengerahan tim ru’yatul hilal di sejumlah titik negerinya hingga digelarnya sidang-sidang istimewa.
3. Realita membuktikan, bahwa dengan menaati keputusan pemerintah dalam hal pelaksanaan shaum Ramadhan dan penentuan hari raya ‘Idul Fithri, benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya ketika umat Islam berseberangan dengan pemerintahnya, perpecahan di tubuh mereka pun sangat mencolok. Maka dari itu, menaati pemerintah dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam.
Rasulullah e bersabda :
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَىاللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي
“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah, barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah, barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barang siapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para pemerintah dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, 13/120).

Fatwa Para Ulama Seputar Shaum Ramadhan Bersama Pemerintah
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama pemerintah dan jama’ah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah I bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa 25/117)
Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits Abu Hurairah:
اَلصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka/beriedul Fitri adalah pada saat kalian berbuka/beriedul Fitri, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.”
dengan perkataan (mereka), ‘sesungguhnya shaum dan berbuka/beriedul Fitri itu (dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi 2/37)
Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, berbuka puasa/Iedul Fithri dan Iedul Adha –pen) keputusannya bukanlah di tangan individu, dan tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada pemerintah dan mayoritas umat Islam, dan dalam hal ini setiap individu pun wajib untuk mengikuti pemerintah dan mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun pemerintah menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Ash-Shahihah 2/443)
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata: “Dan selama belum (terwujud) bersatunya negeri-negeri Islam di atas satu mathla’, maka aku berpendapat bahwa setiap warga negara hendaknya melaksanakan shaum Ramadhan (Iedul Fitri –pen),  bersama negaranya (pemerintahnya) masing-masing dan tidak bercerai-berai dalam perkara ini, yakni shaum bersama pemerintah dan sebagian lainnya shaum bersama negara lain, baik mendahului pemerintahnya atau pun membelakanginya. Karena yang demikian itu dapat mempertajam perselisihan di tengah masyarakat muslim sendiri. Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu, Wallahul Musta’an.” (Tamamul Minnah hal. 398)
Beliau juga berkata: “Inilah yang sesuai dengan syari’at (Islam) yang toleran, yang diantara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu kepada perpecahan. Syariat ini tidak memperhitungkan pendapat pribadi -walaupun menurut pemiliknya benar- dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Ied, dan shalat berjama’ah. Tidakkah engkau melihat bahwa para shahabat y sebagian mereka shalat di belakang yang lainnya (berma’mum) padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu’, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?!. Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna (4 raka’at) dalam safar dan diantara mereka pula ada yang mengqasharnya (2 raka’at)?!. Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam (walaupun berbeda pendapat dengannya –pen) dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah. Hal itu dikarenakan keilmuan mereka bahwasanya bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk dari sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat pemerintah dari pada pendapat pribadinya di momen berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya khalifah Utsman bin Affan t shalat di Mina 4 raka’at (zhuhur, ‘ashar, dan isya’ –pen), maka shahabat Abdullah bin Mas’ud t mengingkarinya seraya berkata: “Aku telah shalat (di Mina/hari-hari haji –pen) bersama Nabi e, Abu Bakr, ‘Umar dan diawal pemerintahan dengan Utsman 2 raka’at, dan berikutnya Utsman shalat 4 raka’at. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian (sebagian shalat 4 raka’at dan sebagian lagi 2 raka’at –pen), dan harapanku dari 4 raka’at shalat itu yang diterima adalah yang 2 raka’at darinya.” Namun ketika di Mina shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat tersebut dengan 4 raka’at, maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari Utsman atas shalatnya yang 4 raka’at, (mengapa) kemudian engkau shalat 4 raka’at pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar y.
Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang (hobi –pen) berpecah-belah dalam urusan shalat mereka dan tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid, terkhusus shalat witir di bulan Ramadhan yang alasannya karena beda madzhab! Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun membelakanginya dengan dalih mengerti ilmu falaq, tanpa mau peduli manakala harus berseberangan dengan mayoritas kaum muslimin. Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini, dan semoga bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Harapannya agar mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah bersama Al-Jama’ah.” (Ash-Shahihah 2/444-445)
Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya: “Jika awal masuknya bulan Ramadhan telah diumumkan di salah satu negeri Islam semisal kerajaan Saudi Arabia, namun di negeri kami belum diumumkan, bagaimanakah hukumnya? Apakah kami bershaum bersama kerajaan Saudi Arabia ataukah bershaum dan berbukai bersama penduduk negeri kami, manakala ada pengumuman? Demikian pula halnya dengan masuknya Iedul Fithri, apa yang harus kami lakukan bila terjadi perbedaan antara negeri kami dengan negeri yang lainnya? Semoga Allah I membalas engkau dengan kebaikan.”
Maka beliau menjawab: “Bagi setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka/beriedul Fitri bersama (pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu berdasarkan sabda Nabi e:
“Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka/beriedul Fitri adalah pada saat kalian berbuka/beriedul Fitri, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.” Wabillahit taufiq (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin -rahimahullah- ditanya: “Umat Islam di luar dunia Islam sering berselisih dalam menyikapi berbagai-macam permasalahan seperti (penentuan ) masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, serta saling berebut jabatan di bidang dakwah. Fenomena ini terjadi setiap tahun, hanya saja tingkat ketajamannya berbeda-beda pada tiap tahunnya. Penyebab utamanya adalah minimnya ilmu agama, mengikuti hawa nafsu dan terkadang fanatisme madzhab atau partai, tanpa mempedulikan rambu-rambu syari’at Islam dan bimbingan para ulama’ yang kesohor akan ilmu dan wara’nya. Maka, adakah sebuah nasehat yang kiranya bermanfaat dan dapat mencegah (terjadinya) sekian kejelekan? Semoga Allah I memberikan taufiq dan penjagaan-Nya kepada engkau.”
Maka beliau berkata: “Umat Islam wajib bersatu dan tidak boleh berpecah-belah dalam beragama. Sebagaimana firman Allah I (artinya): “Dia telah mensyari’atkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepadamu, Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya.” (Asy-Syuura: 13)
“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali Imran: 103)
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan, dan bagi mereka adzab yang pedih.” (Ali Imran: 105)
                                           Maka wajib bagi umat Islam untuk menjadi umat yang satu dan tidak berpecah-belah dalam beragama. Hendaknya waktu shaum dan berbuka/beriedul Fitri mereka satu, dengan mengikuti keputusan badan/departemen yang menangani urusan umat Islam dan tidak bercerai-berai (dalam masalah ini), walaupun harus membelakangi shaum kerajaan Saudi Arabia atau negeri Islam lainnya.” (Fatawa Fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52)
Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal-Iftaa’: “…Dan jika si pemerintah bukan seorang muslim, maka hendaknya mengikuti keputusan majlis/departemen pusat yang membidangi urusan umat Islam di negeri tersebut. Hal ini semata-mata untuk menjaga kebersamaan umat Islam dalam menjalankan shaum Ramadhan dan shalat Ied di negeri mereka. Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.(Pemberi fatwa: Asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 117)
Demikianlah beberapa fatwa para ulama terdahulu dan masa kini seputar kewajiban bershaum dan beridul Fitr bersama pemerintah dan mayoritas umat Islam di negerinya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan ibrah bagi orang-orang yang mendambakan persatuan umat Islam. Wallahu a’lam, semoga Allah I menyatukan kaum muslimin diatas al haq.


Tidak ada komentar: